Noveri Faikar Urfan
Baru kemarin pagi aku mengikuti kuliah perdana, setelah beberapa hari lalu resmi diterima sebagai mahasiswa sebuah universitas Islam ternama di Yogyakarta.
Pagi ini adalah hari pertama aku diberi kebebasan memakai baju. Tak perlu seragam pramuka, merah putih, hitam putih, atau kopyah seperti di Aliyah dulu. Ini benar-benar dunia baru, lingkungan baru dan suasana baru.
Saat menjejakkan kaki pertama kali di kampus, sebuah tempat yang paling membuatku penasaran adalah, gedung di sebelah lapangan bola itu, di belakang taman bacaan. Ya, gedung itu, Perpustakaan.
Tak perlu pikir panjang, langsung ku langkahkan kakiku kesana. Sampai di dalam, hampir tak ada kegaduhan, sekelilngku berjejer rak penuh buku.
Awal niatku adalah mencari koleksi kitab kuning seperti yang mudah kujumpai di perpus pesantren. Aku langsung datang mendekat saat mataku bertemu tulisan “Islam” menggantung di atas rak buku. Berarti ini koleksi buku-buku Islam.
Belum sampai di posisi rak itu, seonggok buku tergeletak di lantai dengan posisi terbuka. Tanpa pikir panjang ku pungut buku itu. Sambil berjalan ku baca tulisan di halaman yang terbuka tadi.
Hufh.. Dalam hati, aku terperangah. Benar-benar sulit kupercaya, tulisan itu berkata “menghafal Al-Qur’an adalah tradisi yang tak perlu dipertahankan. Yang perlu dikembangkan oleh generasi sekarang adalah kekuatan analisis, bukan hafalan”.
Gejolak itu tiba-tiba datang. Keyakinan yang selama ini kugenggam erat, tiba-tiba coba diruntuhkan hanya oleh sebuah tulisan, yang tanpa sengaja kubaca.
Anak jebolan pesantren sepertiku, sungguh percaya bahwa Al-Quran adalah simbol suci agama. Tak main-main, memegangnya saja harus dalam keadaan suci, bahkan Kyai di pesantrenku pernah berkata, “barang siapa hafal Al-Qur’an tigapuluh juz, maka satu tiket surga sudah dalam genggaman.
Setelah membaca tulisan itu, tak berani aku melanjutkannya, langsung kututup. Entah karena merasa bersalah, atau takut berdosa. Kuletakkan saja buku itu di atas meja, sejenak aku duduk dikursi baca, merenungkan apa yang sudah kubaca tadi.
Belum lama aku merenung, seorang mahasiswi datang, kerungdungnya cukup lebar, aku mengira dia pasti jebolan pesantren. Tak kukira, dia coba mengambil buku yang aku taruh tadi.
Jangan!, aku tarik buku itu. Kusembunyikan di belakang punggung. Kenapa? Ujarnya. Ini berbahaya, kataku, buku ini gak pantas dibaca sama orang Islam, tulisannya menyesatkan.
Wanita itu kembali menyahut, “memang isi tulisannya apa?”. Dia menghina Al-Qur’an kataku. Wanita itu tampak cukup kesal dengan ulahku ini.
Memang Al-Quran pantas dihina, wanita itu berkata dengan santainya. Apa katamu? Sahutku membentak, kamu tidak beriman ya?.
Wanita itu balik membalas ”aku beriman pada kejujuran dan kebenaran, Al-Qur’an memang pantas dihina, itu benar dan jujur bagiku”.
Sudahlah, aku tak mau berdebat denganmu, bentakku. Baiklah, berikan padaku buku itu. Aku menyerah, aku berikan saja buku ini padanya. Ditariknya buku itu dari genggamanku.
Setelah itu dia pergi. Terus kuamati langkahnya, kupikir dia akan membaca atau meminjamnya. Ternyata tidak, dia justru menaruhnya di rak buku sembari merapikan posisinya.
Mataku terus mengawasinya, kemudian dia berbalik, dan aku berpaling karena rikuh. Aku tahu dia berjalan, tok-tok-tok, dari arah belakang, suara sepatunya semakin dekat.
Hei…, dipanggilnya aku dari belakang, ternyata masih wanita itu.
Boleh kenalan? namaku Sarah, kamu siapa? Sambil mengulurkan tangan. Ilham jawabku, maaf bukan muhrim kataku sambil mengatupkan tangan. Oh iya, jawabnya. Maaf kalau perkataanku tadi menyinggungmu. Tak apa, itu urusanmu sama Allah jawabku ketus.
Kamu mahasiswa barau ya? tanyanya. Iya baru masuk tahun ini jawabku. Dulu waktu aku masih baru sikapku juga sepertimu, timpalnya. Maksudnya?.
Sebelum aku berkenalan dengan pemikiran baru yang lebih ‘nakal’, sulit aku menerima kebenaran yang disampaikan oleh orang lain. Dulu aku yakin kalau Islam adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan, tapi sekarang aku anggap kalau semua agama itu sama.
Kamu ngelantur ya, jawabku. Islam itu agama paling sempurna, di luar Islam berarti tidak beriman kepada Allah, kalau begitu tak ada yang menjaminnya masuk surga.
Wanita itu termenung, berpikir. Kemudian beranjak duduk di kursi sebelahku.
Ilham, kalau Tuhan menghendaki semua manusia masuk Islam, pasti itu terjadi. Namun kenyataannya, tuhan tidak menghendaki itu, itu artinya perbedaan agama adalah sunnatullah, sesuatu yang memang telah digariskan oleh tuhan, kita tak boleh memanipulasi kebenaran, kita tak boleh egois dengan menyalahkan keyakinan orang lain.
Aku termenung, dalam benak aku bertanya-tanya. Oh iya, kamu dulu di pesantren ya Ham?. Aku terbangun dari diam. I..ya, sahutku. Aku juga, enam tahun aku di pesantren timpalnya.
Mahasiswi itu lalu berdiri. Kalau kamu tak keberatan, tiap jumat malam kita ada dialog masalah agama di kontrakan belakang koperasi, datang aja, kita amat senang jika ada teman berminat diskusi, besok jumat aku tunggu ya.
Iya, insyaallah, jawabku. Ya sudah aku ada kuliah siang ini, sampai ketemu besok malam, assalamualaikum.. walaikumsalam jawabku.
****
Aku masih duduk di kursi baca, merenungkan apa yang dikatakan mahasiswi bernama Sarah tadi, aku masih belum menerima kata-kata dan tuturannya.
Cukup lama aku diam, kulihat jam dinding, sudah menunjukkan pukul 09.30. sudah satu jam setengah aku di perpus, kini saatnya aku berangkat kuliah.
Di depan ruang kelas, petugas akademik memberi pengumuman. Katanya kuliah hari ini kosong, dosennya sedang sakit, dia berhalangan hadir. Aku sedikit kecewa, namun dibalik rasa kecewa itu, diam-diam aku masih memikirkan perkataan mahasiswi yang memberiku ceramah di perpus tadi.
Tiba di kamar kos, aku masih juga memikirkannya, apa aku egois? Apa semua agama benar? Kepalaku semakin pening. Sampai aku tak tahan, kuambil air wudhu untuk menenangkan pikiran.
****
Hari Jumat malam pun datang. Karena rasa penasaranku tinggi aku pun menerima tawaran Sarah. Aku datang ke kontrakan di belakang koperasi.
Sampai di sana sudah berkumpul sekitar sepuluh orang, dari pojok ruangan. Muka wanita yang tidak asing itu langsung mengucapkan salam. Assalamualaikum, bla-bla-bla, selamat datang bagi teman baru kita ‘Ilham’. Aku terhenyak, ternyata benar, wanita itu Sarah, mahasiswi yang kata-katanya membuatku pening beberapa hari lalu.
Teman-teman yang saya hormati, kali ini kita kedatangan tamu istemewa, Ahmad Baihaqi, dia seorang penerjemah buku, baru-baru ini dia telah menerjemahkan buku, buku itu sudah diterbitkan dengan judul “Agnotisme, sebuah Jalan Menuju Kebebasan Berpikir” begitu kata sarah membuka diskusi malam ini.
Ahmad Baihaqi kemudian memulai pembicaraanya. “Agama kata seorang filsuf adalah candu”, dia hanyalah tempat di mana orang pasrah dan lari dari kenyataan hidup. Menurut teman-teman apakah pernyataan ini bisa diterima.
Saat aku mendengarnya, tiba-tiba kupingku langsung memerah. Berarti agama telah memabukkanku?. Belum juga lama aku dduk, aku sudah tak tahan dengan omongan si Ahmad Baihaqi, namanya saja Islam, tapi perkataannya tidak mencerminkan orang beragama.
Dalam hati aku benar-benar marah, tanpa pikir panjang aku langsung keluar ruangan, berniat untuk kembali ke kamar kos.
Aku berdiri, dan langsung menyelonong ke pintu, lalu berjalan pergi.
Gelagatku ini ternyata diamati oleh Sarah. Sampai di jalan depan rumah kontrakan itu, sarah langsung memanggilku.
Ilham.. Mau kemana? Tanyanya heran. Aku mau pulang saja, aku tak sanggup mendengar obrolan kalian, lama-lama aku bisa jadi kafir, jawabku dengan nada emosi.
Diskusi ini kan belum selesai, masuk lagi yuk? Ajak sarah. Tidak! Diskusi kalian keterlaluan, aku berharap kalian segera bertobat, jangan diulangi perbuatan ini, dosa besar.
Ini masalah kecil Ham, kata Sarah. Kamu saja yang belum bisa menerima manfaat positif dari diskusi ini, timpal Sarah.
Sudahlah aku pergi saja. Kalian saja yang masuk neraka aku tidak mau ikut.
Ya sudah kalau begitu, semoga kamu segera dapat pencerahan. Semoga pikiran gelapmu akan dibuka oleh Allah. Aminn..
Apa katamu? Aku bertambah marah, ingin ku pukul dia. Tapi, astaghfirullah, ku urungkan niatku. Sudah aku tak mau berdebat denganmu
Baiklah, kata Sarah. Maafkan aku kalau menyinggungmu lagi.
Tanpa salam aku langsung pergi. Di jalan, ternyata aku masih juga memikirkan perkataan sarah dan kata-kata si Ahmad Baihaqi. Benarkah Semua agama itu sama, dan apa memang agama itu candu?.
Ya, semoga Tuhan segera memberiku petunjuk.
Recent Comments