Archive | Cerpen RSS feed for this section

Semoga Datang Petunjuk

25 May

Noveri Faikar Urfan

Baru kemarin pagi aku mengikuti kuliah perdana, setelah beberapa hari lalu resmi diterima sebagai mahasiswa sebuah universitas Islam ternama di Yogyakarta.

Pagi ini adalah hari pertama aku diberi kebebasan memakai baju. Tak perlu seragam pramuka, merah putih, hitam putih, atau kopyah seperti di Aliyah dulu. Ini benar-benar dunia baru, lingkungan baru dan suasana baru.

Saat menjejakkan kaki pertama kali di kampus, sebuah tempat yang paling membuatku penasaran adalah, gedung di sebelah lapangan bola itu, di belakang taman bacaan. Ya, gedung itu, Perpustakaan.

Tak perlu pikir panjang, langsung ku langkahkan kakiku kesana. Sampai di dalam, hampir tak ada kegaduhan, sekelilngku berjejer rak penuh buku.

Awal niatku adalah mencari koleksi kitab kuning seperti yang mudah kujumpai di perpus pesantren. Aku langsung datang mendekat saat mataku bertemu tulisan “Islam” menggantung di atas rak buku. Berarti ini koleksi buku-buku Islam.

Belum sampai di posisi rak itu, seonggok buku tergeletak di lantai dengan posisi terbuka. Tanpa pikir panjang ku pungut buku itu. Sambil berjalan ku baca tulisan di halaman yang terbuka tadi.

Hufh.. Dalam hati, aku terperangah. Benar-benar sulit kupercaya, tulisan itu berkata “menghafal Al-Qur’an adalah tradisi yang tak perlu dipertahankan. Yang perlu dikembangkan oleh generasi sekarang adalah kekuatan analisis, bukan hafalan”.

Gejolak itu tiba-tiba datang. Keyakinan yang selama ini kugenggam erat, tiba-tiba coba diruntuhkan hanya oleh sebuah tulisan, yang tanpa sengaja kubaca.

Anak jebolan pesantren sepertiku, sungguh percaya bahwa Al-Quran adalah simbol suci agama. Tak main-main, memegangnya saja harus dalam keadaan suci, bahkan Kyai di pesantrenku pernah berkata, “barang siapa hafal Al-Qur’an tigapuluh juz, maka satu tiket surga sudah dalam genggaman.

Setelah membaca tulisan itu, tak berani aku melanjutkannya, langsung kututup. Entah karena merasa bersalah, atau takut berdosa. Kuletakkan saja buku itu di atas meja, sejenak aku duduk dikursi baca, merenungkan apa yang sudah kubaca tadi.

Belum lama aku merenung, seorang mahasiswi datang, kerungdungnya cukup lebar, aku mengira dia pasti jebolan pesantren. Tak kukira, dia coba mengambil buku yang aku taruh tadi.

Jangan!, aku tarik buku itu. Kusembunyikan di belakang punggung. Kenapa? Ujarnya. Ini berbahaya, kataku, buku ini gak pantas dibaca sama orang Islam, tulisannya menyesatkan.

Wanita itu kembali menyahut, “memang isi tulisannya apa?”. Dia menghina Al-Qur’an kataku. Wanita itu tampak cukup kesal dengan ulahku ini.

Memang Al-Quran pantas dihina, wanita itu berkata dengan santainya. Apa katamu? Sahutku membentak, kamu tidak beriman ya?.

Wanita itu balik membalas ”aku beriman pada kejujuran dan kebenaran, Al-Qur’an memang pantas dihina, itu benar dan jujur bagiku”.

Sudahlah, aku tak mau berdebat denganmu, bentakku. Baiklah, berikan padaku buku itu. Aku menyerah, aku berikan saja buku ini padanya. Ditariknya buku itu dari genggamanku.

Setelah itu dia pergi. Terus kuamati langkahnya, kupikir dia akan membaca atau meminjamnya. Ternyata tidak, dia justru menaruhnya di rak buku sembari merapikan posisinya.

Mataku terus mengawasinya, kemudian dia berbalik, dan aku berpaling karena rikuh. Aku tahu dia berjalan, tok-tok-tok, dari arah belakang, suara sepatunya semakin dekat.

Hei…, dipanggilnya aku dari belakang, ternyata masih wanita itu.

Boleh kenalan? namaku Sarah, kamu siapa? Sambil mengulurkan tangan. Ilham jawabku, maaf bukan muhrim kataku sambil mengatupkan tangan. Oh iya, jawabnya. Maaf kalau perkataanku tadi menyinggungmu. Tak apa, itu urusanmu sama Allah jawabku ketus.

Kamu mahasiswa barau ya? tanyanya. Iya baru masuk tahun ini jawabku. Dulu waktu aku masih baru sikapku juga sepertimu, timpalnya. Maksudnya?.

Sebelum aku berkenalan dengan pemikiran baru yang lebih ‘nakal’, sulit aku menerima kebenaran yang disampaikan oleh orang lain. Dulu aku yakin kalau Islam adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan, tapi sekarang aku anggap kalau semua agama itu sama.

Kamu ngelantur ya, jawabku. Islam itu agama paling sempurna, di luar Islam berarti tidak beriman kepada Allah, kalau begitu tak ada yang menjaminnya masuk surga.

Wanita itu termenung, berpikir. Kemudian beranjak duduk di kursi sebelahku.

Ilham, kalau Tuhan menghendaki semua manusia masuk Islam, pasti itu terjadi. Namun kenyataannya, tuhan tidak menghendaki itu, itu artinya perbedaan agama adalah sunnatullah, sesuatu yang memang telah digariskan oleh tuhan, kita tak boleh memanipulasi kebenaran, kita tak boleh egois dengan menyalahkan keyakinan orang lain.

Aku termenung, dalam benak aku bertanya-tanya. Oh iya, kamu dulu di pesantren ya Ham?. Aku terbangun dari diam. I..ya, sahutku. Aku juga, enam tahun aku di pesantren timpalnya.

Mahasiswi itu lalu berdiri. Kalau kamu tak keberatan, tiap jumat malam kita ada dialog masalah agama di kontrakan belakang koperasi, datang aja, kita amat senang jika ada teman berminat diskusi, besok jumat aku tunggu ya.

Iya, insyaallah, jawabku. Ya sudah aku ada kuliah siang ini, sampai ketemu besok malam, assalamualaikum.. walaikumsalam jawabku.

****

Aku masih duduk di kursi baca, merenungkan apa yang dikatakan mahasiswi bernama Sarah tadi, aku masih belum menerima kata-kata dan tuturannya.

Cukup lama aku diam, kulihat jam dinding, sudah menunjukkan pukul 09.30. sudah satu jam setengah aku di perpus, kini saatnya aku berangkat kuliah.

Di depan ruang kelas, petugas akademik memberi pengumuman. Katanya kuliah hari ini kosong, dosennya sedang sakit, dia berhalangan hadir. Aku sedikit kecewa, namun dibalik rasa kecewa itu, diam-diam aku masih memikirkan perkataan mahasiswi yang memberiku ceramah di perpus tadi.

Tiba di kamar kos, aku masih juga memikirkannya, apa aku egois? Apa semua agama benar? Kepalaku semakin pening. Sampai aku tak tahan, kuambil air wudhu untuk menenangkan pikiran.

****

Hari Jumat malam pun datang. Karena rasa penasaranku tinggi aku pun menerima tawaran Sarah. Aku datang ke kontrakan di belakang koperasi.

Sampai di sana sudah berkumpul sekitar sepuluh orang, dari pojok ruangan. Muka wanita yang tidak asing itu langsung mengucapkan salam. Assalamualaikum, bla-bla-bla, selamat datang bagi teman baru kita ‘Ilham’. Aku terhenyak, ternyata benar, wanita itu Sarah, mahasiswi yang kata-katanya membuatku pening beberapa hari lalu.

Teman-teman yang saya hormati, kali ini kita kedatangan tamu istemewa, Ahmad Baihaqi, dia seorang penerjemah buku, baru-baru ini dia telah menerjemahkan buku, buku itu sudah diterbitkan dengan judul “Agnotisme, sebuah Jalan Menuju Kebebasan Berpikir” begitu kata sarah membuka diskusi malam ini.

Ahmad Baihaqi kemudian memulai pembicaraanya. “Agama kata seorang filsuf adalah candu”, dia hanyalah tempat di mana orang pasrah dan lari dari kenyataan hidup. Menurut teman-teman apakah pernyataan ini bisa diterima.

Saat aku mendengarnya, tiba-tiba kupingku langsung memerah. Berarti agama telah memabukkanku?. Belum juga lama aku dduk, aku sudah tak tahan dengan omongan si Ahmad Baihaqi, namanya saja Islam, tapi perkataannya tidak mencerminkan orang beragama.

Dalam hati aku benar-benar marah, tanpa pikir panjang aku langsung keluar ruangan, berniat untuk kembali ke kamar kos.

Aku berdiri, dan langsung menyelonong ke pintu, lalu berjalan pergi.

Gelagatku ini ternyata diamati oleh Sarah. Sampai di jalan depan rumah kontrakan itu, sarah langsung memanggilku.

Ilham.. Mau kemana? Tanyanya heran. Aku mau pulang saja, aku tak sanggup mendengar obrolan kalian, lama-lama aku bisa jadi kafir, jawabku dengan nada emosi.

Diskusi ini kan belum selesai, masuk lagi yuk? Ajak sarah. Tidak! Diskusi kalian keterlaluan, aku berharap kalian segera bertobat, jangan diulangi perbuatan ini, dosa besar.

Ini masalah kecil Ham, kata Sarah. Kamu saja yang belum bisa menerima manfaat positif dari diskusi ini, timpal Sarah.

Sudahlah aku pergi saja. Kalian saja yang masuk neraka aku tidak mau ikut.

Ya sudah kalau begitu, semoga kamu segera dapat pencerahan. Semoga pikiran gelapmu akan dibuka oleh Allah. Aminn..

Apa katamu? Aku bertambah marah, ingin ku pukul dia. Tapi, astaghfirullah, ku urungkan niatku. Sudah aku tak mau berdebat denganmu

Baiklah, kata Sarah. Maafkan aku kalau menyinggungmu lagi.

Tanpa salam aku langsung pergi. Di jalan, ternyata aku masih juga memikirkan perkataan sarah dan kata-kata si Ahmad Baihaqi. Benarkah Semua agama itu sama, dan apa memang agama itu candu?.

Ya, semoga Tuhan segera memberiku petunjuk.

Jadi Kurir

25 May

Tommy Satriadi Nur Arifin Erawan

“Paket biasa aja ada nggak, Ri?” tanyanya dengan agak tergesa-gesa.

“Wah, gak ada nih bang, belum ada kabar dari lagi dari B.B.” jawabku.

Namaku Ari, kini menginjak 22 tahun. Kini aku tinggal di sebuah ibukota yang sebenarnya karena urusan pendidikan, apalagi kalau bukan kuliah. Aku mengambil jurusan Ekonomi Pembangunan di sebuah universitas swasta yang terbilang cukup elit.

Mungkin di antara kalian ada yang tahu apa yang sedang aku lakukan. Hanya ini yang dapat aku kerjakan dalam mencari uang, sebagai kurir obat-obatan terlarang alias narkoba. Pekerjaan ini sudah aku lakukan hampir 3 tahun. Namun asal kalian tahu saja, aku sendiri bukan seorang junkies. Hidupku sehat dan tidak memiliki riwayat penyakit, kecuali cacar air ketika SD dulu.

Orang yang membeli ini namanya Jaja. tapi kerap disapa dengan ‘Jack’, entah darimana panggilannya, mungkin hanya untuk sebatas keren saja. Dia merupakan pecandu obat-obatan semenjak SMA dulu, kalau dihitung-hitung ia menjadi pecandu sudah 5 tahun. Pekerjaannya sih jadi tukang parkir dan ‘satpam’ pasar.

Ia membeli obat-obatan itu dengan rutin, yaitu seminggu sekali. Sekali beli ia bisa menghabiskan lima ratus ribu lebih hanya untuk setengah kilogram Ganja dan Sabu. Terkadang ia beli dua minggu, itu berarti ia akan mengadakan pesta miras dan obat-obatan dengan teman-temannya, dan biasanya tidak terdengar kabar hingga sebulan.

Ah, B.B yang aku sebut tadi, itu merupakan sapaan untuk Bos Besar atau bahasa inggrisnya Big Boss, walaupun nama sebenarnya adalah Gagil. Ia menguasai jalur distribusi narkoba seantero kota. Yah, tetap saja menurutku ia masih golongan kecil dari budak obat dan uang. Jangan tanya yang golongan besar jika kau tak mau berurusan dengan perkumpulan mafia obat-obatan ini, setahuku sudah menguasai wilayah antar Negara.

Bang Jack sudah sejak siang tadi meneleponku untuk membeli narkoba ini. Namun, ia harus tetap mengetahui jadwal kerja kurir sepertiku ini, yaitu sepuluh menit lewat tengah malam. Tidak jarang juga ia memaksaku untuk menjual lebih cepat dari jadwal, namun jika demikian aku yang kena marah oleh B.B.

Tempatnya jual-beli sudah biasa, yaitu depan toko kelontong milik Yassir yang sudah tutup jam 9 malam tadi. Toko itu terletak di pinggir gang selebar 5 meter, dan dekat dengan jalan raya. Jika kau mau berjalan-jalan sebentar, coba ikuti gang tersebut kira-kira lima ratus meter dan kau akan lihat lokalisasi PSK yang dibalut suasana penginapan murah dan remang-remang.

Kini keluarlah dari gang tersebut menuju jalan raya ke arah utara hingga seratus meter dan akan kau temui pasar tempat bang Jack bekerja. Kira-kira ada sepuluh orang lainnya yang berprofesi sama dengan bang Jack, dan bisa ditebak jika mereka semua pecandu juga.

“Okelah Ri, yang ada aja apa?” tanyanya lagi.

Aku mengeluarkan semua yang aku punya untuk dijual, namun sepertinya mengecewakan bang Jack. Yang aku punya bahkan tidak bisa disebut barang dagangan, terlihat seperti obat-obatan pribadi saja.

“Cuma ini bang, maklumlah tanggal 29 gini, mana ada stok barang, lagian bang Jack juga jarang beli barang tanggal segini, biasanya alasan puasa lah, tobat lah, ini itu,” ujarku setengah bercanda sambil nyengir.

Bang Jack tidak meladeni ucapanku. Ia malah langsung mengeluarkan uang seratus lima puluh ribu dan memberikannya padaku. Sebagai gantinya ia mengambil semua obat-obatan yang aku bawa. “Ada kembaliannya kau ambil aja, makasih ya, inget ya ri, aku ambil waktu biasa.”

Aku mengangguk sambil tersenyum lebar dan melihatnya menghilang di balik pintu lokalisasi tersebut, tak berapa lama disambut oleh jeritan kecil wanita dan tawa berat dari pria. Aku menghitung uang yang aku terima dibandingkan dengan narkoba yang aku bawa tadi.

“Yah, bang Jack, jangankan kembalian, ini aja kurang.” Gumamku lirih.

***

Sontak aku terbangun karena dering handphoneku. Berusaha bangun dan sadar, kuraih telepon itu.

“Ri, persediaan kamu dah habis belum?” Tanya seseorang dengan suara serak.

Ah, ini yang namanya Gagil alias B.B. Hanya akhir bulan dan pertengahan bulan saja ia meneleponku dan sebatas mengecek persediaan barang di kurir-kurirnya.

Walaupun aku bilang sebelumnya Gagil hanyalah kelompok kecil dari budak uang dan obat-obatan, ia mengetuai 20 kurir termasuk diriku yang bertugas mengantarkan pesanan kepada pelanggan. Bisa juga ditebak sebagian besar kurir tesebut juga merupakan pecandu obat-obatan, kecuali aku dan seorang temanku bernama Ardi, atau lebih tepatnya almarhum Ardi. Ia meninggal karena melarikan diri dari polisi yang akan menangkapnya saat ia melakukan jual-beli dengan pelanggannya. Polisi menembakkan peluru timah dua kali di kakinya dan ia meninggal karena kehabisan darah.

Kini dengan jumlah kurir hanya 19 orang, Gagil tetap berani menjualkan obat-obatan itu. Entah apa yang membuatnya berani demikian. Mungkin sekali lagi, karena ia hanyalah budak dari uang dan obat-obatan.

Kira-kira membutuhkan 7 detik untuk bangun sepenuhnya dan menjawab pertanyaan dari Gagil. Aku jelaskan semuanya termasuk pertemuanku dengan bang Jack tadi malam. “Ah, sial, pagi-pagi sudah ditanya stok barang, mau jadi apa hari ini bagiku…..” pikirku.

“Oke sip, lagi-lagi bulan ini kamu berhasil menjualnya semua, padahal bulan-bulan lalu aku khawatir gara-gara banyak pelanggan kita ditangkap oleh para polisi keparat itu. Ok nanti aku kabari lagi soal pengiriman barang lain.”

Telepon diputus dan aku kembali mengantuk, namun sial, mata tidak mampu menutup, pikiran tidak mampu melepaskan bebannya. Tidak ada pilihan lain, aku melangkah ke kamar mandi.

Aku hidup dalam sebuah rumah peninggalan orang tuaku dulu. Kini mereka pindah ke keluarga besar dari ayahku di desa. Alasan mereka karena tidak mau menggangguku dalam kuliah dan biaya hidup yang semakin sulit. Dan mereka memilih untuk mengalah pindah ke desa agar biaya hidup mampu dikurangi.

Alasanku bisa ikut dalam dunia ini adalah seperti yang kalian bisa tebak, masalah ekonomi. Ayahku yang hanya pensiunan guru SD dan ibuku yang hanya ibu rumah tangga begitu sulit untuk bertahan dalam kehidupan ini. Dalam hati ku dan mungkin hati mereka, merasa bersyukur bahwa aku anak tunggal dalam keluarga ini. Setidaknya beban mereka tidak banyak jika anak mereka hanya satu.

Aku sendiri kenal dengan obat-obatan bukan karena pergaulanku yang buruk, namun lebih karena yang aku sebut dengan ‘waktu kosong’, istilahku saja untuk menyebut antara takdir dan kesialan.

Kira-kira dua setengah tahun yang lalu, ketika itu hari hujan lebat. Aku setengah berlari pulang dari sekolah. Hingga kulihat beberapa orang dewasa yang memukuli seorang dewasa lainnya hingga babak belur. Darah menetes dari pelipis dahi, mulut, dan hidung. Bahkan hampir seluruh tubuhnya berwarna biru lebam.

Hingga orang tersebut pingsan, dan kemudian ditinggal sendirian, tergeletak dalam gang kecil pinggir jalan. Kala itu hujan lebat dan daerah tersebut masih sepi oleh penduduk. Panggung yang tepat melakukan pengeroyokan. Tidak terasa takut sedikitpun, aku memilih untuk mendekati orang tersebut.

Aku tidak kenal orang ini. Ketika kusentuh tubuhnya, ia sadar sedikit dan menyerahkan beberapa bungkus kecil yang berisi serbuk putih seperti gula halus. Ia menggumamkan sesuatu yang tak bisa kudengar karena hujan sangat lebat dan kemudian ia pingsan kembali.

Sialnya salah seorang yang memukuli orang ini sadar bahwa ada orang lain yang berada di dekat peristiwa tersebut, siapa lagi jika bukan diriku sendiri. Pikiran buruk mulai menghantuiku dan ternyata aku tidak diapa-apakan. Salah satu dari mereka menyuruhku ikut mereka. Aku menurut saja, dan berfikir aku masih selamat.

“Hai nak, apa yang kamu lihat tadi?” Tanya seseorang yang lain dalam sebuah rumah tempat aku disuruh mengikuti para pelaku pemukulan tadi.

“Hanya kakak-kakak ini saja yang memukuli orang tadi, tidak lebih koq,” Jawabku seadanya sambil mengamati ruangan sekitar. “Tapi ia memberiku ini.” Lanjutku sambil menjulurkan tangan.

Hampir seluruh orang di ruangan tersebut kaget. Namun, orang yang menanyaiku tersenyum dan mengatakan, “anak baik…anak baik.”

Aku tidak suka nadanya yang menilai aku anak kecil, namun ia terus berbicara.

“Nak, apa kamu mau uang, uang banyak?”

Aku diam saja, namun menurutnya itu adalah isyarat untuk terus berbicara.

“Kalau kamu mau jadi tukang antar barang untuk kami, akan kami bayar. Tenang saja tidak ada resiko apapun, pekerjaan ini aman untukmu,” ucapnya disambut tawa oleh yang lain.

“Namun jika kamu menolak tawaran ini, maka kami akan melaporkanmu pada polisi karena telah memegang benda yang kamu pegang itu, mungkin kini kamu gak tahu apa itu, namun jika ke kantor polisi maka semua jelas.” Ucapnya lagi yang kini disambut tawa lebih keras.

Kekuatanku goyah mendengar kata polisi, walau aku tahu bahwa ini pemaksaan, tapi aku tak bisa berbuat banyak selain menurut apa kata mereka, sudah cukup aku mendengar anak-anak sekolah yang bermasalah dengan polisi, dan kesedihan orang tua mereka. Aku tidak mau membuat repot orang tuaku.

Seminggu setelah itu, aku mulai disuruh kerja menjadi kurir obat-obatan terlarang itu. Awalnya hanya sekali antar pada seseorang dan dalam jangka waktu sebulan sekali, bayarannya memang besar dalam ukuran anak SMA sepertiku. Perlahan aku mulai tergiur dengan bayaran yang lebih besar.

Kemudian hari aku mulai mengerti bahwa orang yang mengajakku adalah Roy. Mantan residivis narkoba yang kini dipercaya memegang jalur pengiriman wilayah ibukota dan sekitarnya. Kabar dari media yang kudengar ia berkali-kali lolos dari kejaran polisi, bahkan urusan hilang-menghilang nyawa sangat mudah baginya. Darinya pula aku kenal dengan Gagil yang ternyata adalah adik sepupunya sendiri, usianya sebaya dengaku.

***

Tepat setelah aku keluar dari kamar mandi, handphoneku kembali berbunyi, dan itu dari Gagil.

“Ri, kamu ke tempat biasa ya, barang baru dah ada, cepetan diambil, kita ketemu disana, ok!” Ujarnya cepat.

Telepon kututup dan aku bersiap untuk menuju tempat pertama kali aku bertemu Roy, tempat aku bermula sebagai kurir obat-obatan ini.

“Nih gil, hasil bulan kemarin,” ujarku seraya memberikan uang hasil kerjaku.

Biasanya Gagil selalu sendiri jika ke tempat ini, namun hari ini dia membawa 4 orang yang aku tidak kenal, perawakan mereka yang agak besar dan tegap,bahkan dua diantara mereka memiliki rambut yang kusebut dengan ‘sapu ijuk’ . Aku berusaha untuk tidak berpikir macam-macam.

“Ri, ini temen-temen daerahku. Aku sudah nawarin mereka jadi kurir sepertimu, jelas aja mereka tertarik dengan bayaran besarnya. Nih, dari yang paling sebelah kanan namanya…..”

Belum sempat Gagil mengenalkan diri, ia menjatuhkan uang yang kuberikan tadi ketika mendengar bentakan,

“Jangan bergerak!!! Kami polisi!”

Gagil langsung mengangkat tangannya dan seorang polisi mendorongnya jatuh ke tanah. “Ah, ia tak memiliki nyali jika langsung dengan polisi, cobalah kau tiru kakak sepupumu, Roy itu.” kataku dalam hati.

“Ardi, jika aku berlari, apa aku akan bertemu denganmu lagi?” ujarku tetap dalam hati. Aku memilih untuk tetap berpikir dalam hati hingga hal terakhir yang aku tahu adalah suara tembakan di langit dan perasaan sakit dan panas di kakiku.

Malam Kanaya

25 May

Kamil Alfi Arifin

Usianya sudah tak muda lagi. Bulan April ini genap sudah ia berusia 43 tahun.  Usia yang seharusnya cukup menjadikan setiap orang matang dan bijaksana. Tapi ia berbeda. Hari-harinya masih dihiasi oleh keresahan yang tak habis-habis, kesunyian, bahkan sejumlah kekecewaan abstrak. Seperti gejala anak muda yang gamang saat berjumpalitan mencari jati diri…

Kanaya namanya. Kanaya Bening Aprilia. Meski mungkin lebih tepat dipanggil ibu Kanaya. Ia sudah berkepala tiga. Sudah tak seperti dua puluhan tahun silam, saat menjadi primadona setiap lelaki di desanya. Meski kini pun ia tetap saja menawan dengan keriput-keriput tipis di tepi-tepi wajahnya. Tapi kemenawanannya sudah tak sesempurna dulu. Ia persis bulan sabit yang separoh memancarkan cahaya, separoh lagi memendarkan duka dan kekelaman yang gelap.

***

Seperti malam-malam lain, malam ini ia habiskan waktunya melamun dan menulis. Semenjak menikah, ia memang kerap melakoni dua kebiasaan itu. Melamun dan menulis baginya adalah dua anak tangga yang mampu melarikan dirinya melompat dari kenyataan yang dihadapinya, dari kesunyian yang menderanya. Apalagi setelah ketiga anaknya memilih melanjutkan studinya ke luar kota.

Maklum, pernikahannya yang tak lagi seumur jagung bukan buah dari cinta. Melainkan kesepakatan orangtua yang diterimanya dengan airmata dan kerelaan yang dipaksakan. Buktinya sampai hari ini, ia tak jua merasakan kebahagiaan sejati yang dicarinya. Rumah dan segala  fasilitas mewah, status sosial yang cukup membanggakan sebagai istri            jenderal angkatan udara, sama sekali tak menumbuhkan benih cinta dan bahagia di hatinya. Apalagi ia kerap ditinggal-tinggal suaminya bertugas. Lengkap sudah seolah-olah kesunyiannya, kesepiannya, penderitaannya. Semua yang terjadi di matanya tampak sebagai rekayasa yang semu. Ia tak mampu melihat dunia sebagai apa adanya. Sebab itu kini ia milik sendu. Milik keabadian luka yang ia harapkan retak.

“Hidup hanya seperti perangkap jaring laba-laba. Dan aku adalah renik yang terperangkap itu,” tulisnya di lembaran kesekian catatan hariannya.

“Saat kita terperangkap, apa yang mampu dilakukan selain menyentak-nyentak dan berontak? Tapi sayang, hal ini pun malah dianggap tak pantas untuk seorang perempuan. Dunia yang aneh,” lanjutnya penuh kesal dan marah.

Begitu cara ia menghabiskan waktunya. Setiap malam. Selama bertahun-tahun. Menyelami kesunyian sepenuh-penuhnya, ke dasar-dasarnya. Meski mungkin malam ini sedikit berbeda dari malam-malam di masa lalunya. Kesunyiannya kini  memang tidak lebih mencekam dibanding dulu. Kebiasaan menulisnya menghantarkannya menjadi penulis ternama, yang sedikit memberikan semacam kehangatan bagi jiwanya yang koyak moyak. Itu yang menjadi alasan mengapa kesunyiannya kini dirasakan tak lebih mencekam dibanding riuh kepentingan yang pelan-pelan datang mendekati kesuksesannya. Tak lama ia merasakan jengah dengan dirinya yang sudah populer dan menjadi milik publik.

“Keberhasilan buku pertama barangkali malah merusak dan menghancurkan kehidupan pengarangnya”. Setidaknya seperti ini yang ingin ia katakan pada semua orang.

Mengikuti kesuksesan bukunya, ia merasa diserang oleh media, oleh sentimen banyak orang, termasuk sentimen pembaca. Semua ini menyerangnya dalam arti mengganggu kedamaian dan kedalaman jiwanya, pribadinya, sehingga ia merasa perlu melindungi diri, tetap bertahan dalam keheningan dan kedamaian hidup[i].

***

Tapi di tengah-tengah kejengahannya, ada hal lain yang melambungkannya. Seiring keberhasilannya menjadi penulis itu, membuat daftar koleganya bertambah. Setiap hari pun ia pasti memiliki jadwal untuk launching, bedah buku dan acara ini.. itu…Kalau tidak keluar rumah, selalu ada saja orang yang mengunjunginya di rumahnya. Dalam pertemuan-pertemuan itulah, ia bertemu dengan seorang laki-laki bujang yang baru saja menyelesaikan sarjana Sastranya. Seorang lelaki muda yang mampu melupakan semua masa lalunya dan membuatnya melambung ke angkasa asmara.

Ardi, lelaki itu. Awalnya ia hanya teman baru dalam buku pertemanan ibu Kanaya. Bahkan, Kanaya sendiri memanggilnya Nak..suatu pertanda bahwa usia mereka tak lagi satu tarikan nafas. Ardi dan Kanaya adalah dua generasi yang jauh. Bahkan sangat jauh. Tapi lama-lama, pertemanan mereka menjadi semakin dekat. Mereka tampak cocok satu sama lain. Mereka kerap berbicara dan berdiskusi tentang semua hal…mulai dari filsafat, politik, pendidikan hingga hal-hal yang berbau kearifan lokal.

Kedekatan mereka membuat mereka paham betul kepribadian satu sama lain. Kanaya yang kesepian dan Ardi yang ternyata tak setangguh penampilan luarnya. Membuat keduanya merasakan kenyamanan dan keterhubungan dari pertemanannya. Ardi ternyata adalah seorang anak muda yang besar di tengah-tengah keluarga broken-home. Keluasan pengetahuan, kecerdasan, dan penampilannya yang biasa-biasa saja dimata Kanaya seperti awan yang padat dan kokoh, tapi sebenarnya rapuh[ii]. Rapuh, karena sebenarnya ia haus kasih sayang. Namun begitulah Kanaya dan Ardi saling mengisi. Saling berbagi.

Tapi mereka sadar diri. Lebih-lebih Kanaya. Sekalipun mereka percaya cinta tak mengenal batas usia. Bagaimana pun mereka tak hidup sendirian di dunia ini.

“Bagaimana dengan keluarga Ardi?” pertanyaan ini selalu menghantui Kanaya.

Karena itu, Kanaya maupun Ardi sepintar mungkin menyembunyikan perasaan mereka. Meski disadari, ada sebuah kehangatan yang menari-nari di tengah kedekatan mereka seperti Tarian Darwis.

Ardi tahu betul perasaannya pada ibu Kanaya. Entah perasaan kagum atau sekedar ketergantungannya untuk mendapatkan kasih dan perhatian yang kerap diberikan Kanaya padanya. Setiap kali Ardi ingin menyatakan kejujuran hatinya. Ia kerap ragu. Khawatir juga sedikit malu. Malu dan ragu jangan-jangan Kanaya hanya sekedar menganggapnya sekedar teman dekat atau mungkin lebih banter sebagai anak.

“Aku tahu, cinta tak cukup dipahami seberapapun besarnya makna yang ada. Cinta perlu berbicara,” kata Ardi bicara pada dirinya sendiri serius. “Tapi perasaan ini tak lazim…ibu Kanaya pasti akan menertawakanku, ia tak akan percaya,” lanjut Ardi dengan sedikit tertawa sinis.

Hubungan mereka memang tak lazim. Zaman kita memang bukan zaman Siti Nurbaya lagi. Sekarang semua orang punya kebebasan dan keleluasaan memilih pasangannya tanpa paksaan dari orangtua. Tapi tetap saja, setiap periode zaman punya kelaziman-kelaziman yang bila dilanggar akan membuat kita seperti burung onta yang terbang ke lembah mati.

Sadar ada jurang lebar yang menganga di depan mereka. Ardi dan Kanaya memilih menjadi manusia fatalis dalam urusan perasaan mereka. Meski mereka tetap tak bisa membohongi diri mereka sendiri. Tak ada dusta dalam hati.

***

Malam semakin tua, tapi Kanaya masih menulis cacatan harian di notebooknya :

“…malam-malam sunyi milik wanita adalah rindu yang gusar, sebuah rindu yang tak mampu menegaskan kebimbangannya sendiri. Di dalamnya, ia keras bergulat mencari pangkalnya: ada gelisah yang mencerai-berai, ada airmata yang tertahan, ada hati yang berdegup kencang, ada apapun tentang misteri itu…hingga ia kadang menjadi semacam kengerian yang tak pernah terjelaskan.

Kehadiranmu menambah kegusaran yang tak selesai-selesai dalam diriku. Mendadak, seolah-olah kau pun menjadi sebentuk kesadaran baru yang menyemesta dalam pikiranku. Mengalirkan pertanyaan-pertanyaan yang kerap membuatku sendiri takut untuk menjawabnya. Menghadirkan harapan-harapan lama yang dulu sempat mengering karena keegoan masalalu

Yang jelas, saat ini aku hanya bisa berharap, jika kau memang sungguh-sungguh, aku akan membawamu ke dalam keutuhan waktu. Waktu adalah rumah kehidupan, kata Heidegger. Dan di dalamnya kuingin kita memilih ‘satu kamar kecil kesetiaan’ yang akan kita jadikan tempat dimana kita bersama-sama akan memahami kerumitan-kerumitan cinta. Sebab cinta butuh diperjuangkan.

Selebihnya, aku hanya punya ketakutan dan kecemasan yang besar untuk memilikimu.

Atau inikah takdirku: akulah kesunyian itu…”

***

Sementara di ujung ruang yang jauh, kedua anaknya hangat dalam dekapan laki-laki diantara lampu-lampu dan musik diskotik yang gemuruh. Suaminya pun juga lelap dalam selimut tebal bahkan sangat tebal dengan kehangatan tubuh perempuan lain.


[i] Kalimat ini adalah pernyataan Susanna Tamaro dalam suatu wawancara. Dikutip dari pengantar A. Sudiarja untuk novel “Va Dove Ti Porta Il Cuore” karya Susanna Tamaro

[ii] Disadur dari cerpen “Lilin-lilin Merah” Dewi Lestari

Sepatu Hitam Manis

25 May

Ahmad Alwajih

Di sinilah rupanya kaki-kaki cantik dilahirkan ke dunia. Tempat para wanita yang mengembang hidungnya kala dipuji oleh sang pria, “Kakimu indah sekali, manisku”. Nah, hati mana yang tidak melayang dikata begitu rupa?

Hanya hatiku seorang yang terhempas ke tanah. Bergedebuk karena diadu dengan tajamnya karang dan batu granit ketidakberdayaanku sendiri. Itu pun sebab kekhilafanku yang kebetulan, atau kebetulanku yang sedang khilaf? Nampaknya sama saja kedengarannya.

Sebulan lalu, ketika akhir pekan, kuajak istriku jalan-jalan ke kiblat manusia moderen bernama mall. Bukan bermaksud gaya dan ikut-ikutan biar dibilang gaul. Bukan begitu niatku. Aku hanya ingin jalan-jalan berduaan dengan istriku. Hitung-hitung bersenang-senang murah meriah.

Namun, dasar wanita. Tidak bisa melihat barang bagus di tempat perbelanjaan. Dan dasar lelaki, selalu tidak berdaya di depan wanita.

Saat melintas di depan toko sepatu, istriku berhenti tertegun. Matanya menatap lurus-lurus ke arah etalase. Pandangan matanya bukan kosong, seperti membayangkan sesuatu.

Kuikuti arah matanya melihat. Ternyata ia melihat dan membayangkan sesuatu yang hitam, manis, manja merayu-rayu, dan duduk angkuh seperti cleopatra di ranjang pengantin. Itu sepatu. Bentuknya sebenarnya simpel. Sesimpel banderol harga yang mengalungi lehernya yang hitam bertali-tali. Sepatu itu berhak tinggi, jenjang, berwarna hitam mengkilat, dan ada tali-tali yang berguna untuk mengikatkan dirinya dengan bagian mata kaki ke atas.

Kudengar istriku bergumam lirih. Hampir tak terdengar, tapi aku masih bisa menangkap patahan kata-kata yang meluncur dari bibirnya.

“Oh, Sepatu yang cantik…” Kalimat selanjutnya tiada kudengar. Namun terbaca olehku sebagai, “kira-kira berapa ya harganya?”

Mata istriku berbinar-binar. Aku terharu-biru. Dalam lubuk hati terdalam, aku meminta maaf sebesar-besarnya. Juga sumpah, sepatu itu harus terbeli olehku bagaimanapun caranya.

*****

Kali ini aku datang ke tempat yang sama. Sendirian. Aku baru mendapatkan rejeki, meskipun tidak banyak. Tujuanku datang kali ini untuk meminang si hitam manis dengan cucuran keringatku selama sebulan. Aku berharap, semoga nilai keangkuhannya makin meredup. Tidaklah melangit seperti kala aku datang bersama istriku beberapa waktu silam.

Kudekati etalase dengan langkah berdebar-debar. Semoga uangku mencukupi. Demikian doaku berulang-ulang. Kupejamkan mata saat si hitam manis menarikku ke dalam pusaran pesonanya. Kubuka mata pelan-pelan. Kulirik banderol yang tersemat di leher si hitam manis. Mataku terbelalak tak percaya.

Bukannya tambah murah, tapi makin mahal dua kali lipat. Aku berdiri mematung, lemas. Persendianku bagai dilolosi satu persatu dari kerangka tubuhku. Ternyata aku belum cukup mampu membahagiakan istriku. Lelaki, lelaki, inikah cintamu yang kau agung-agungkan selama ini? Bukankah kau sudah berjanji akan membahagiakannya sejak malam pertama? Bahkan untuk sekedar membelikannya sepatu saja kau tak mampu.

Tak henti-hentinya aku nelangsa. Hatiku menangis. Sanubariku meneteskan air mata sesal. Penjaga toko, seorang laki-laki yang kira-kira berumur dua puluhan, mendekatiku.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

“oh, oh, tidak ada. Saya cuma melihat-lihat sepatu itu,”jawabku agak terkejut sambil menunjuk ke arah si hitam manis yang terlihat menyeringai sinis.

“sepatu itu? sekarang memang sedang tren, pak. Banyak yang cari model seperti itu. kemarin saja barangnya sampai sold out. Terpaksa kami stock ulang. Memangnya bapak mau beli untuk siapa?”

“ehmm..buat istri saya. Kira-kira harganya bisa dinego, mas?”

“hahaha, bapak ini aneh. Di sini mall, pak. Bukan pasar rakyat. Harga barang sudah ditentukan dari sananya, jadi tidak bisa ditawar”

“saya hanya bercanda, mas. Saya tahu kalau di mall harga barang sudah mutlak. Didiskon saja, bagaimana? Hitung-hitung buat penglaris lho mas.” Penjaga ini nampaknya orang baik. Mungkin dia bisa memberi harga yang sesuai dengan isi kantongku.

“waduh, saya nggak berani, pak. Kata atasan, jangan didiskon. Mumpung sedang laris sih..” si hitam bertali temali masih duduk merayu di etalase. Hatiku panas. Aku bersumpah akan mendapatkannya dengan cara apapun. Ini adalah kebulatan tekad. Tidak bisa ditawar-tawar lagi.

******

Ini sudah ke tiga kalinya aku ziarah ke toko sepatu itu. Kutolehkan kepala, ke kanan dan ke kiri. Kuamati sekeliling. Aman. Di dalam toko sepatu cuma ada satu orang pelanggan wanita.

Langkahku mengendap-endap. Sejenak aku meragu. Apakah kuteruskan niat ini ataukah kubatalkan saja ? kupejamkan mata. Aku berdoa meminta keteguhan hati. Di pelupuk mataku sudah terbayang wajah istriku yang berbinar-binar cerah saat sepatu hitam itu tersentuh tangannya. Kali ini tidak boleh sebatas lamunan. Harus menjadi kenyataan. Aku pun bergerak masuk ke toko.

Dalam saku jaketku sudah kusiapkan sebuah belati kecil. Benda itu terasa dingin saat jemariku menyentuhnya. Sedingin wajahku yang kubuat dingin. Sedingin pendingin ruangan yang merindingkan bulu tengkuk.

Penjaga toko yang heran melihat kedatanganku tak bisa berkutik lagi. Sebilah belati kecil telah kukalungkan di lehernya. Sementara si pelanggan wanita hanya bisa terdiam seribu bahasa. Mungkin kaget. Aku sendiri juga kaget dengan keberanianku itu.

“serahkan sepatu itu!” ancamku.

“se, sepatu yang mana?” penjaga toko tergagap-gagap ketakutan.

“itu, yang di etalase! Cepatlah! Aku tidak punya banyak waktu!” setengah membentak, aku menudingkan pisau ke arah etalase. Lalu, kukalungkan lagi belati ke lehernya.

“ambil saja, tapi tolong jangan sakiti saya,”si penjaga toko mencoba memelas.

Tanpa mempedulikan si pelanggan wanita yang mulai menangis sesenggukan, aku beringsut menuju etalase. Kumasukkan si hitam manis ke dalam kantong plastik. Akhirnya, aku berhasil memilikimu, seruku girang dalam hati. Namun, aku terlambat menyadari sesuatu saat rasa kepuasan melanda benakku. Rupanya  wanita itu berteriak sekencang-kencangnya hingga mengundang perhatian banyak orang. “Ada pencurii!,” teriaknya. Dua orang penjaga keamanan di luar menghampiri tempatku berada. Aku mulai disergap panik.

Secepat kilat, aku menerobos keluar. Aku berlari sekencang-kencangnya tanpa menoleh ke belakang. Dua orang penjaga keamanan berseru, “Tahan dia!” aku terus berlari dan berlari. Aku tidak mau tertangkap konyol di sini. Naas, langkah kakiku menabrak seorang gadis kecil yang sedang makan es krim.

Aku berusaha bangkit, tapi satu hantaman tongkat kayu mengenai kepala belakangku. Mataku berkunang-kunang, pusing. Dua orang sekuriti itu tangkas mengejarku. Ini benar-benar di luar perhitungan. Belum sempat mengaduh, hantaman demi hantaman bertubi-tubi menghujani kepala, dada, kaki, dan hampir semua anggota tubuhku lainnya. Dapat kurasakan cairan hangat berwarna merah kehitaman menutupi penglihatanku. Darah? Ah, pandanganku mulai gelap. Orang-orang berkerumun melihatku yang terkapar seperti melihat sirkus. Aku sudah mati rasa. Bahkan ketika aku diseret dan dilempar ke belakang mall yang penuh dengan tong sampah. Gelap. Ini malam ataukah kesadaranku yang hilang?

****

Dengan langkah terseok-seok dan wajah luka-luka, aku pulang ke rumah. Kuketok pintu berkali-kali. Akhirnya terbuka. Istriku terheran-heran melihat keadaanku yang seperti ini.

“Mas dari mana saja? mengapa luka-luka begini?” kujelaskan dari awal hingga akhir petualangan bodohku di mall tadi. Sambil mengobati luka-lukaku, ia mendengarkan ceritaku dengan cucuran air mata.

“Mas, aku memang menginginkan sepatu itu. tapi mas salah dengar”

“maksudmu?”aku mulai tidak mengerti.

“benar aku mengatakan itu sepatu yang cantik, tapi kalimat selanjutnya bukan ‘kira-kira berapa harganya’, melainkan ‘semoga buah hatiku kelak, jauh lebih berharga dan cantik daripada dia yang sekedar pajangan di balik etalase’. Itulah yang aku ucapkan. Sebuah doa, mas…”

“tapi, tapi, setidaknya aku ingin membahagiakanmu..”aku terbata-bata mengeja alasanku.

“melihatmu tidak kesusahan dan tidak menyusahkanmu, aku sudah sangat bahagia,” sejuk jawaban istriku menenangkan perih luka-luka di sekujur tubuhku.

“jadi…”

Istriku dengan cepat melanjutkan kalimat yang meluncur di lidahku, “itulah sesungguhnya cinta, bukan terpasung banderol harga.” Aku tertegun. Lama sekali.

Setitik Darah Merah Putih

25 May

Tesa Herowana

Sebuah kisah yang terjadi pada pagi hari disebuah taman yang di penuhi oleh pohon pohon yang rindang, sinar matahari menembus sampai permukaan tanah.

Tak berselang beberapa lama,datanglah satu rombongan yang terdiri dari enam anak yang berseragam putih merah. Mereka adalah Amir, seorang anak laki laki berumur 10 tahun yang berbadan kurus, Doni, anak yang periang, Mira, gadis cilik yang imut dan lucu, Anggi, seorang anak perempuan yang cerdas dan banyak omong, Adi sama seperti Anggi,ia seorang anak laki laki yang cerdas tapi ia selalu bertingkah,tidak bisa diam. Dan yang terakhir adalah Jono, seorang anak petani yang kulit tubuhnya berwarna merah muda karena ia kekurangan pigmen kulit. Sehingga ia dijuluki bule gila.

Mereka  berjalan diantara pohon-pohon besar yang rindang, bunga bunga yang bertebaran di sekitar taman, banyak burung yang berhabitat disini, jadi tidak heran kalau tempat ini di penuhi oleh suara kicauan burung. Beberapa saat berjalan, bertemulah mereka dengan sebuah pohon yang bentuknya unik, yaitu pohon beringin yang ukurannya paling besar di antara pohon pohon yang ada di taman tersebut. Di sana telah berdiri seorang bapak bapak yang sepertinya tengah menunggu kedatangan anak anak ini.setibanya merekapun bersalaman dan mencium tangan bapak ini dan duduk melingkar didepannya.

.“Selamat pagi anak anak” Pak Guru berkata dengan semangatnya

Kemudian anak-anak menyahutnya “Selamat pagi Paaaak….”

“Kali ini bapak akan mengajak kalian semua membuat sebuah puisi, puisi yang bertemakan bangsa. Bapak piker sekarang ini banyak anak-anak seumuran kalian yang masih kurang mengerti mengenai menghargai perjuangan para leluhur kita.” Tutur Pak Guru

“ apakah kalian tahu apa tugas kalian sebagai anak bangsa??

Adi mengangkat tangannya dan berkata, “saya tahu Pak!

“Bermain ps Pak!

“Hahaha” seluruh temannya tertawa…

“Huss kamu ini ngaco,mana ada tugas seperti itu…”

“Nah yang lain ada yang tau?” Pak Guru menambahkan.

Anggi pun menjawab, “saya tahu Pak, sebagai penerus bangsa kita seharusnya melanjutkan apa yang telah di perjuangkan oleh para pahlawan pak”

“Yaa benar anggi tapi apa perjuangan yg kamu maksud?”

“Apakah kita berjuang mnggunakan senjata seperti para pahlawan?”

“Bukan Pak,kita berjuang dengan cara belajar dan membangun negara.”

“Hoho jawaban yang bagus Anggi.”

“Tetapi masih ada yang kurang dari jawaban anggi,yaitu selain seperti yang Anggi katakan, kita pun harus selalu berusaha memberikan yang terbaik kepada bangsa kita ini dengan ikhlas. Dengan ke iklhasan itu, kita dapat melakukan semua dengan sepenuh hati, dan apapun yang dilakukan dengan sepenuh hati biasanya akan menjadi suatu hal yang berharga.”

“Oke anak anak,sekarang saatnya kalian membuat puisi”

“Baik Paak.” Serentak mereka menjawab.

Anak anak mengambil secarik kertas dari tas mereka masing masing. Merekapun mulai berfikir. Tak jauh dari sana, tepatnya di balik semak ternyata ad seorang anak yang mengintip mereka. Secara kebetulan Pak Guru melihat,kemudian mendatanginya dengan membawa secarik kertas dan pensil.

“Nak saya tahu kamu dari tadi melihat kami.” sang anak pun kaget.

“Tidak usah takut,bapak tidak akan memarahimu.”

“Nama saya pak Roni,nama kamu siapa?”

“Ama aya Ait” (nama saya Adit)

Pak guru kaget,tapi kemudian tersenyum

“Ini saya beri kamu kertas dan pensil,kamu juga boleh membuat puisi.” Pak Guru pun meninggalkan adit dan kembali ke tempat anak anak tadi.

Karena ia sangat bersemangat untuk belajar, Adit pun mulai berfikir,berimajinasi. Tiba-tiba ia berada di sebuah ruangan yang semua berwarna putih,tidak ada warna lain selain warna putih di ruangan itu. Tidak ada sudut, tidak ada bayangan, yang ada hanyalah putih.

Tanpa sadar ia membayangkan seluruh perjuangan para pahlawan, ia melihat darah dan kemudian tersadar dari imajinasinya. Adit menancapkan pensil yang di beri oleh Pak Guru ke telunjuknya, keluarlah darah dari telunjuknya yang kemudian ia oleskan ke permukaan kertas.

Tak lama setelah itu Pak Guru memerintahkan anak anak beserta Adit untuk membacakan apa yang mereka tulis pada kertas yang Pak Guru berikan tadi. Di panggilah Adit oleh Pak Guru dan di perintahkan untuk bergabung dengan anak anak lainya membentuk sebuah lingkaran tadi. Satu persatu membacakan pusi yang mereka tulis. Kemudian tibalah pada giliran Adit.

Dengan nada suara yang tegas Pak Guru bertanya kepada Adit,

“Adit, apa yang kamu tulis pada kertas yang saya berikan tadi?”

Adit diam saja, tidak menjawab pertanyaan Pak Guru.

“Adit,apa apa yang kamu tulis pada kertas itu?” Pak Guru bertanya untuk yang ke dua kalinya.

Adit pun kemudian memperlihatkan apa yang ada di kertasnya. Ternyata kertas itu berisi sebuah gambar, yaitu gambar bendera merah putih yang ia gambar dengan darahnya tadi dan kemudian ia pun berkata,”Aya angga enyadi angsa Inonesia”.  Sontak Pak Guru kaget dan bertepuk tangan diikuti oleh ke enam muridnya.

Sebagai penerus bangsa, sudah seharusnya kita bangga terhadap bangsa kita sendiri, lanjutkan perjuangan para pahlawan dengan menjalani hidup kita dengan sebaik mungkin. Bapak harap kalian semua dapat mencontoh sikap adit yang rela mengucurkan darahnya untuk apa yang ia ingin lakukan.