Jurnalisme Masa Kini

25 May

Ahmad Alwajih

Judul Buku        : Jurnalisme Masa Kini
Penulis                : Nurudin
Penerbit              : Rajawali Pers Jakarta
Tahun Terbit     : 2009

Pernahkah anda mendengar ungkapan lama dalam dunia jurnalistik, “anjing menggigit orang bukan berita, tetapi orang menggigit anjing itu berita” atau “good news is no news, bad news is news”? Jika anda pernah mendengar dan mengimaninya sebagai tolok ukur nilai berita, maka bersiap-siaplah untuk kecewa. Sebab, ungkapan-ungkapan lama jurnalistik seperti itu sudah tidak relevan lagi saat ini.
Dalam buku Jurnalisme Masa Kini, Nurudin menggugat pandangan klasik di atas dengan analogi yang menarik. Bagaimana jika seandainya yang digigit anjing itu seorang presiden atau artis terkenal, sementara Bejo menggigit anjing? Tentu realita pertama yang menarik untuk diberitakan. Dan tidak hanya berita buruk, bukankah terobosan di bidang teknologi juga kabar gembira yang layak diberitakan? (hal.49-50).
Konsep mengenai jurnalisme masa kini merupakan buah refleksi serius atas kejenuhan dalam  pemberitaan media massa. Baik itu yang dimediasi oleh koran, radio, atau televisi. Rasa “jenuh” ini muncul karena berita-berita selama ini yang terlalu mengeksploitasi hal-hal yang ditakuti oleh masyarakat. Misalnya, tindak korupsi para pejabat negara, bencana kelaparan, sampai kasus-kasus kriminal yang tidak mengenakkan dilihat. Tidak hanya itu, dalam cara penyampaiannya yang terlalu menekankan pada fakta-fakta obyektif, sehingga berita terasa kering, membuat dahi mengerut, dan tidak mengasyikkan untuk disimak. Bahkan, lebih baik membaca novel daripada berita. Namun, di sisi yang berbeda, kebutuhan masyarakat terhadap informasi adalah keniscayaan.
Di sinilah tantangan bagi gerakan jurnalisme baru ini, yakni bagaimana membuat berita terasa mengasyikkan seperti membaca novel atau menonton film. Namun tetap mengedepankan fakta-fakta lapangan, bukan mengaburkannya dengan realita fiktif. Melalui identifikasi Tom Wolf, sang pelopor jurnalisme baru, Nurudin menyebutkan empat poin penting dalam praktik jurnalisme baru ini.
Pertama, scene by scene construction, seperti penyajian  film, cara pemberitaan disusun berdasarkan jalinan tiap adegan. Jadi, audiens bisa memahami perubahan cerita tanpa harus dijelaskan secara eksplisit. Dua, dialogue, berita merupakan rekaman dialog yang dituturkan sekomplit mungkin. Dengan dialog, audiens bisa mengetahui karakter narasumber tanpa reporter menyebutkan, apakah narasumber itu seorang pemarah, intelektual, dan sebagainya. Tiga, The third person, artinya seorang jurnalis sebisa mungkin menjadi orang yang terlibat dalam sebuah peristiwa. Sekaligus mampu bercerita melalui sudut pandang berbeda yang kaya informasi. Ketika menempatkan posisi sebagai orang ke tiga, cerita akan menjadi lebih hidup karena peran jurnalis adalah saksi mata peristiwa (eyewitness). Ke empat, status details, ini berarti seorang jurnalis harus mencatat tiap detail status narasumber, peristiwa, dan berbagai hal dalam laporan. Misalnya, mendeskripsikan lokasi, jurnalis bisa melaporkan bagaimana bentuk bangunannya, rancangan arsitekturnya, maupun kondisi di sekitar lokasi. Keempat elemen ini diharapkan mampu melengkapi prinsip 5W+1H yang merupakan pedoman baku bagi para jurnalis saat meliput dan melaporkan kejadian supaya terasa lebih berwarna.
Tidak hanya mengulas seputar cara pemberitaan, buku ini juga menyinggung beberapa wacana yang mendekonstruksi konsep lama jurnalistik. Salah satunya adalah menjungkirbalikkan logika ekspertokrasi jurnalisme : informasi atau berita hanya milik jurnalis profesional, kini semua orang bisa menyebarkan informasi apa saja, kapan saja, di mana saja, dan dengan cara apa saja.
Kemajuan dalam teknologi komunikasi, berimplikasi pada tersebarnya ruang-ruang untuk berekspresi. Termasuk di antaranya adalah weblog, yang lebih populer dengan nama blog. Dalam blog, seseorang bebas untuk unjuk dirinya. Terserah apakah ia ingin menulis catatan harian, kumpulan artikel, kumpulan foto, dan sebagainya. Kebebasan dalam blogging ini memicu lahirnya praktek-praktek jurnalisme warga. Seiring berjalannya waktu, pemuasan-pemuasan yang sifatnya pribadi bergeser pada fungsi sosial. Blog pun beralih fungsi menjadi ruang tukar-menukar informasi. Kini, setiap orang bisa mem-­posting informasi yang berguna bagi para blogger lainnya. blogger lain yang membaca informasi tersebut bisa langsung memberikan respon (timbal balik), entah dengan menambah informasi atau mengklarifikasi kebenaran informasi tersebut. Informasi pun menjadi milik bersama, tak lagi bersifat elitis dan menjadi hak milik media massa.
Disertai dengan contoh-contoh kasus nyata bagaimana menulis berita bergaya majalah Pantau dan Tempo, buku ini terasa segar dibaca. Terutama oleh kalangan mahasiswa yang tengah menggeluti bidang ilmu komunikasi jurnalistik. Membaca buku ini, serasa tidak lengkap tanpa memahami terlebih dahulu Sembilan Elemen Jurnalistik, karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2003). Boleh dikatakan, Jurnalisme Masa Kini adalah “sekuel” dari Sembilan Elemen Jurnalistik. Jika Bill Kovach dan Tom Rosenstiel lebih menekankan pada dimensi konseptual yang harus ada dalam kepala seorang jurnalis, maka Nurudin berupaya untuk mentransformasikannya ke arah praksis atau dimensi operasional. Sebagai tambahan pengetahuan, Nurudin menuliskan tentang topik-topik menarik seputar peran dan efek media massa, sampai interpretasi atas Undang-Undang Pokok Pers.
Satu langkah menuju jurnalisme kontemporer, yang merupakan pokok pembahasan dalam buku “pemenang hibah buku teks DIKTI” ini bukan berarti tanpa menuai kritik. Diakui sendiri oleh sang penulis, kritik untuk jurnalisme masa kini terletak pada tantangan untuk meruntuhkan “mitos-mitos lama”. Antara lain, butuh keberanian ekstra, keahlian menulis berita yang terasa seperti membaca novel, membutuhkan space yang tidak sedikit karena penulisannya bisa sangat panjang, mendalam, dan detail. Dan terpenting, jurnalisme lama masih dibutuhkan karena masyarakat masih membutuhkan fakta-fakta yang “cukup” 5W+1H (hal.201-203). Entah karena kesibukan pekerjaan atau tidak punya waktu luang membaca berita yang panjang dan mendalam.

One Response to “Jurnalisme Masa Kini”

Leave a comment